Kamis, 04 Juli 2013

KIR tepung biji alpukat


BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
           
Tepung merupakan bahan pangan yang pada umumnya berasal dari gandum maupun beras. Seperti kita ketahui, Indonesia sampai saat ini masih mengimpor bahan pangan seperti gandum untuk memenuhi kebutuhan gandum dalam negeri, begitu juga beras meskipun jumlah impornya tidak setinggi gandum. Impor gandum diperkirakan akan membengkak 100% selama 10 tahun mendatang. Saat ini jumlah impor gandum per tahunnya mencapai 5 juta ton gandum, artinya akan ada potensi impor gandum 10 juta ton. Konsumsi gandum ini terus meningkat, peningkatan konsumsi perkapitanya menanjak signifikan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2003 baru mencapai 19,8 gram perkapita, lalu ditahun 2006 naik 22,6 gram per kapita, selanjutnya ditahun 2008 sudah menjadi 38 per kapita (Kompas, Juni 2009). Peningkatan konsumsi tepung terigu juga meningkatkan impor biji gandum yang merupakan bahan baku pembuatan tepung terigu itu sendiri. (Wiwik Suhartiningsih, 2005).
Sebagai negara agraris Indonesia sebenarnya mempunyai banyak potensi sumber pangan yang dapat dimanfaatkan selain beras dan gandum. Hal ini bisa dimulai dengan merancang ketahanan pangan berbasis pangan lokal non-beras dan gandum, terutama dalam hal pembuatan tepung, diperlukan suatu alternatif bahan baku pembuatan tepung yang memanfaatkan bahan pangan lokal. Salah satunya adalah tepung dari biji alpukat.
Biji alpukat sampai saat ini hanya dibuang sebagai limbah yang hanya dapat memyebabkan pencemaran lingkungan. Padahal di dalam biji alpukat mengandung zat pati yang cukup tinggi, yakni sekitar 23%. Hal ini memungkinkan biji alpukat sebagai salah satu sumber pati alternatif.
            Biji alpukat yang diolah menjadi pati, selain bermanfaat mengurangi pencemaran lingkungan, juga dapat menciptakan peluang usaha baru. Hasil olahan pati biji alpukat mempunyai nilai jual tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan makanan, seperti dodol, kerupuk, snack, biskuit dan sebagainya (Winarti dan Purnomo, 2006).
            Biji alpukat merupakan biji buah yang tergolong besar, terdiri dari dua keping (cotyledon), dan dilapisi oleh kulit biji yang tipis. Biji tersusun oleh jaringan parenchyma yang mengandung sel-sel minyak dan butir tepung sebagai bahan cadangan makanan (kalie, 1997).
Pati merupakan penyusun utama cadangan makanan tumbuh-tumbuhan. Pati adalah polimer D-glukosa dan ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam tumbuhan. Pati terdapat sebagai butiran kecil dengan berbagai ukuran dan bentuk yang khas untuk setiap spesies tumbuhan. Pati terdiri atas dua polimer yang berlainan, senyawa rantai lurus, amilosa, dan komponen yang bercabang, amilopektin (deMan, 1997). Komposisi kimia dan sifat-sifat dari pati biji alpukat dapat dilihat pada Tabel 1.
            Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan biji alpukat adalah dengan mengekstrak pati dari dalam biji alpukat. Masalah utama dalam mengekstraksi pati biji alpukat adalah apabila biji alpukat dihancurkan begitu saja, maka akan menghasilkan pati biji alpukat dengan warna kecokelatan. Untuk menghasilkan pati dengan warna putih, maka diperlukan perlakuan khusus ketika mengolahnya, seperti dengan cara perendaman di dalam larutan natrium metabisulfit (Na2S2O5) agar pati yang dihasilkan bermutu baik.
            Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak terdiosiasi dan terutama terbentuk pada pH dibawah 3. Selain sebagai pengawet, sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna kecoklatan. Sulfur dioksida juga dapat berfungsi sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati,1998).
            Salah satu cara untuk mengawetkan produk adalah dengan mengeringkannya. Produk seperti ini mempunyai prospek pasar yang cukup baik. Kuantitas atau rendemen produk kering dinilai atas dasar kebersihan, kandungan air dan kandungan kimiawi bahan (Syahfriandi, 2003).
            Tujuan pengeringan untuk mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan terhambatnya kebusukan atau bahkan terhenti sama sekali. Dengan demikian, bahan yang dikeringkan mempunyai waktu simpan yang lebih lama (Adawyah,2007).
           
1.1.Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diungkap beberapa masalah sebagai berikut :
1.     Bagaimanakah kualitas pati yang dihasilkan tanpa menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman?
2.     Bagaimanakah kualitas pati yang dihasilkan dengan menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman?
3.     Apakah pati yang melalui proses pengeringan jauh lebih tahan lama dibandingkan yang tidak melalui proses pengeringan?
4.     Apakah pati biji alpukat yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan makanan?
5.     Bagaimanakah kualitas tepung yang berasal dari biji alpukat dibandingkan dengan tepung terigu pada umumnya?
1.2.Hipotesa

            Berdasarkan rumusan masalah diatas hipotesa yang dapat diajukan adalah sebagai berikut :
1.     Pati yang dihasilkan tanpa menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman memiliki kualitas yang kurang.
2.     Pati yang dihasilkan dengan menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman memiliki kualitas yang baik.
3.     Pati yang melalui proses pengeringan jauh lebih tahan lama dibandingkan yang tidak melalui proses pengeringan.
4.     Pati biji alpukat yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan makanan.
5.     Tepung yang berasal dari biji alpukat memiliki kualitas yang sama dibandingkan dengan tepung terigu pada umumnya.
1.3.Tujuan Penelitian

            Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diperoleh beberapa tujuan penelitian yaitu :
1.     Untuk mengetahui kualitas pati yang dihasilkan tanpa menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman.
2.     Untuk mengetahui kualitas pati yang dihasilkan dengan menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman.
3.     Untuk mengetahui manakah yang lebih tahan lama antara pati yang melalui proses pengeringan dibandingkan yang tidak melalui proses pengeringan.
4.     Untuk mengetahui apakah pati biji alpukat yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan makanan.
5.     Untuk mengetahui kualitas tepung yang berasal dari pati biji alpukat dibandingkan dengan tepung terigu pada umumnya.
1.5 Manfaat Penelitian

1.     Memberi informasi kepada masyarakat tentang kualitas pati yang dihasilkan tanpa menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman.
2.     Memberi informasi kepada masyarakat tentang kualitas pati yang dihasilkan dengan menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman.
3.     Memberi informasi kepada masyarakat tentang antara pati yang melalui proses pengeringan dengan yang tidak melalui proses pengeringan.
4.     Memberi informasi kepada masyarakat tentang bagaimana pati biji alpukat yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan makanan.
5.     Memberi informasi kepada masyarakat tentang kualitas tepung yang berasal dari pati biji alpukat dibandingkan dengan tepung terigu pada umumnya.
1.6 Cara Memperoleh Data

Data diperoleh melalui kegiatan browsing di internet dan percobaan langsung terhadap biji buah alpukat lonjong dengan cara mengambil patinya.

1.7 Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dianalisis secara diskriptif komparatif untuk melihat sejauh mana kualitas pati yang dihasilkan tanpa menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman, kualitas pati yang dihasilkan dengan menggunakan Na2S2O5 pada saat proses perendaman, manakah yang lebih tahan lama antara pati yang melalui proses pengeringan dibandingkan yang tidak melalui proses pengeringan, apakah pati biji alpukat yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan pembuatan makanan, dan kualitas tepung yang berasal dari pati biji alpukat dibandingkan dengan tepung terigu pada umumnya.








BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Klasifikasi Alpukat
            Kedudukan tanaman alpukat dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi              : Spermatohyta
Subdivisi         : Angiospermae
Kelas               : Dicotyledoneae
Bangsa                        : Ranales
Keluarga         : Lauraceae
Marga             : Persea
Jenis                : Persea americana Mill (Dasuki,1991).

2.1.1 Morfologi Tumbuhan Alpukat
            Tanaman alpukat termasuk jenis pohon kecil dengan tinggi 3 sampai 10 meter, berakar tunggang, batang berkayu, bulat, warnanya coklat kotor, banyak bercabang, dan ranting berambut halus. Daun pada tanaman alpukat ini berbentuk tunggal dengan tangkai yang panjangnya 1,5-5 cm, kotor, letaknya berdesakan di ujung ranting, bentuknya jorong sampai bundar telur memanjang, tebal seperti kulit, ujung dan pangkal runcing, tepi rata kadang-kadang agak menggulung ke atas, bertulang menyirip, panjang 10-20 cm, lebar 3-10 cm. Daun muda pada tanaman alpukat mempunyai warna kemerahan dan berambut rapat, sedangkan daun tua warnanya hijau dan gundul (Angelina, 2007).
Bunga pada tanaman alpukat merupakan bunga majemuk, berkelamin dua, tersusun dalam malai yang keluar dekat ujung ranting, warnanya kuning kehijauan. Buah pada tanaman alpukat ini termasuk golongan buah buni, berbentuk bola atau bulat telur, mempunyai panjang 5-20 cm, warnanya hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu atau ungu sarna sekali berbiji satu, daging buah jika sudah masak lunak, warnanya hijau, kekuningan. Biji pada tanaman alpukat berbentuk bulat seperti bola, mempunyai diameter 2,5-5 cm dengan keping biji putih kemerahan. Buah alpukat yang masak daging buahnya lunak, berlemak, biasanya dimakan sebagai es campur atau dibuat juice. Minyak pada buah alpukat ini dapat digunakan antara lain untuk keperluan kosmetik (Angelina, 2007).

2.1.2 Buah Alpukat
 










Gambar 1. Buah Alpukat (Anonymous A, 2008)

Alpukat adalah tanaman diploid (2n=12), berbiji tunggal yang besar sekali. Kulit luar agak tebal, kulit tengah tebal berdaging lunak, dengan lapisan kulit dalam tipis berbatasan dengan kulit biji. Berat buah rata- rata antara 200- 400 gram, tetapi kadang- kadang ada yang mencapai 600- 700 gram, tergantung pada varietasnya. Jumlah buah tiap tahunnya ± 200 buah/ pohon (AAK, 1987). Buah alpukat termasuk buah buni, berbentuk bola atau buah peer, panjang 5 – 20 cm, berbiji 1, tanpa sisa bunga yang tinggal, berwarna hijau atau hijau kuning, keungu- unguan atau berbintik- bintik, gundul. Biji pada buah alpukat ini berbentuk bola dengan garis tengah 2,5 – 5 cm (Steenis, 2003).
Tanda- tanda kematangan optimal pada alpukat, yaitu: bila buah digoyang-goyang dapat berbunyi, karena bijinya terlepas dari daging buah dan rongga buah melebar. Buah yang sudah masak dan dipetik perlu disimpan selama beberapa hari lagi agar dapat dimakan dagingnya. Waktu berbuah secara lebat adalah pada bulan Desember sampai Februari, dan berbuah biasa antara bulan Mei- Juni (Rismunandar, 1983).
Pohon alpukat yang berukuran besar mampu menghasilkan jutaan bunga dalam semusim. Bunga tersebut muncul diujung tunas. Bunga betinanya tunggal, dengan tangkai sari panjang dan diakhiri dengan kepala sari yang membesar. Benang sarinya sebanyak 9, yang tumbuh dari 2 lingkaran tempat kedudukan. Lingkaran tempat kedudukan sebelah dalam (inner stamen) mempunyai 3 benang sari sedangkan yang luar (outer stamen) mempunyai 6 (Ashari, 2004).
Bunga alpukat bersifat sempurna (hermaprodit), tetapi sifat pembungaannya dichogamy, artinya tiap bunga mekar 2 kali berselang, menutup antara 2 mekar dalam waktu berbeda. Pada hari mekar pertama, bunga betina yang berfungsi sedangkan pada hari mekar berikutnya bunga jantan yang berfungsi. Berdasarkan sifat pembungaannya, tanaman alpukat dibedakan menjadi 2 tipe. Tipe A: bunga betina mekar pada pagi hari sedangkan bunga jantan mekar pada sore hari pada hari berikutnya. Tipe B: bunga betina mekar pada sore hari dan bunga jantan mekar pada pagi hari berikutnya (Ashari, 2004).
Pertumbuhan individu bunga alpukat mempunyai dua tahap. Tahap I adalah membukanya bunga betina dengan kepala putik yang reseptif (siang diserbuki oleh bunga jantan). Pada tahap tersebut, penyerbukan dan pembuahan dapat berlangsung. Selanjutnya bunga tersebut menutup kembali sesudah tahap I dan membuka pada tahap II, yaitu penyebaran tepung sari (Ashari, 2004).

2.1.3 Biji Alpukat

Komponen
Jumlah (%)
Komponen
Jumlah (%)
Kadar air
10,2
Lemak
tn
Kadar pati
80,1
Serat kasar
1,21
*Amilosa
43,3
Rendemen pati
21,3
*Amilopektin
37,7
Kehalusan granula
halus
Protein
tn
Warna
putih coklat
Tabel 1. Komposisi kimia dan sifat-sifat pati biji alpukat
Sumber: Winarti dan Purnomo, (2006).
*Amilosa + amilopektin = pati ; tn = tidak dianalisa

Biji merupakan bagian yang berkembang dari ovule (bakal biji) dan mempunyai peran sebagai komponen regenerasi pada tanaman. Biji dapat terlindung oleh organ lain (buah pada Angiospermae atau Magnoliophyta) atau tidak (pada Gymnospermae). Biji merupakan salah satu sumber pangan untuk manusia dan hewan. Selain itu, biji juga dapat memberi kegunaan lain seperti: obat-obatan, fiber (kapas), komponen dalam minuman (kopi dan coklat), dan sumber minyak untuk industri (Esau,1977). Keberadaan tanaman penghasil biji banyak terdapat di Indonesia, tetapi pemanfaatannya kurang, contohnya pemanfaatan buah-buahan yang sering menjadikan biji buah-bahan tersebut hanya menjadi limbah buangan.
Menurut penelitian, biji buah alpukat mengandung alkaloid, tanin, triterpen dan kuinon. Kandungan kimia buah dan daun alpukat adalah saponin, alkaloid dan flavonoid. Buah juga mengandung tanin sedangkan daun mengandung polifenol, kuersetin dan gula alkohol persiit. Khasiat lain tumbuhan ini diantaranya untuk mengobati sariawan, sebagai pelembab, kencing batu, darah tinggi, nyeri syaraf, nyeri lambung, saluran nafas membengkak, menstruasi tidak teratur dan sakit gigi (Nurrasid, 1999; Wijayakusuma, 1998).

2.2 Pati
Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air, berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang (Kimball, 1983).
Pati adalah suatu polisakarida yang mengandung amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polisakarida berantai lurus bagian dari butir-butir pati yang terdiri atas molekul-molekul glukosa yang terikat satu sama lain melalui ikatan α-1,4-glikosidik. Amilosa merupakan bagian dari pati yang larut dalam air, yang mempunyai berat molekul antara 50.000-200.000, dan bila ditambah dengan iodium akan memberikan warna biru.
Amilopektin merupakan polisakarida bercabang bagian dari pati, terdiri atas molekul-molekul glukosa yang terikat satu sama lain melalui ikatan 1,4-glikosidik dengan percabangan melalui ikatan 1,6-glikosidik pada setiap 20-25 unit molekul glukosa. Amilopektin merupakan bagian dari pati yang tidak larut dalam air dan mempunyai berat molekul antara 70.000 sampai satu juta. Amilopektin dengan iodium memberikan warna ungu hingga merah (Lehninger, 1988).

2.3 Manfaat Tepung Biji Alpukat
Di Indonesia, belum ada data yang jelas mengenai jumlah penduduk yang mengidap penyakit diabetes melitus, namun telah diteliti bahwa frekuensi penderita penyakit diabetes melitus berkisar antara 1,2-2,3% dari jumlah penduduk yang berusia di atas 15 tahun. Angka ini cenderung bertambah terus seiring dengan pertumbuhan ekonomi (Sulastri, 1999).
Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di Indonesia dikenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Penyakit ini merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada seseorang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini dapat terjadi pada semua lapisan umur dan bersifat menahun atau kronik. Masalahnya, lebih dari 50% penderita tidak menyadari bahwa ia mengidap penyakit tersebut dan tidak berobat ke dokter sehingga dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik yang dapat berakibat fatal (Dalimartha, 1999; Mutschler, 1999; Sulastri, 1999).

2.4 Natrium metabisulfit (Na2S2O5)
Natrium metabisulfit merupakan bahan tambahan yang sering digunakan dalam pengolahan pangan yang berfungsi sebagai pemutih bahan pangan digunakan untuk mencegah kerusakan karena reaksi browning yang enzimatis serta bekerja sebagai zat antioksidan (Winarno, 1993). Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan serta untuk mempertahankan warna bahan agar tetap menarik. Penggunaannya maksimum 2000-3000 ppm (Margono, Suryati dan Hartinah, 1993).
Keragaan Natrium metabisulfit berupa kristal atau bubuk putih dan berbau SO2, secara bebas dapat larut dalam air dan gliseral, sedikit dapat larut dalam alkohol, dan larutannya yang biasanya digunakan adalah bersifat asam (Windhloz, 1976).
Metabisulfit dibentuk dari pemanasan bisulfit, dan keduanya sangat berhubungan erat. Jika dua molekul Natrium bisufit terdehrasi maka terbentuk Natrium metabisulfit (Standen, 1969). Tanner dan Chichester (1968) dalam Furia (1983), menyatakan bahwa metabisulfit lebih stabil daripada bisulfit, dalam penggunaannya konsentrasi metabisulfit tidak dibatasi.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar